Daán yahya/Republika

Sapi Merah dan Rencana Penghancuran al-Aqsha

Lima sapi merah telah didatangkan dari Amerika Serikat untuk mewujudkan rencana Yahudi ultra-ortodoks ini.

Oleh: Hasanul Rizqa

Orang Yahudi menganggap Nisan istimewa. Itu bukan hanya bulan pertama dalam sistem penanggalan Yahudi. Di dalamnya pun, terdapat momen penting.

 

Kaum Yahudi percaya, Bani Israil dahulu terbebas dari perbudakan di Mesir pada bulan Nisan. Dari negeri delta Sungai Nil tersebut, umat Nabi Musa ini kemudian bergerak menuju Baitul Makdis.

 

Untuk memperingatinya, kaum Yahudi merayakan Paskah selama sepekan, yakni sejak tanggal 15 Nisan. Dalam tujuh hari itu, mereka hanya memakan roti yang tidak beragi. Makanan itu disajikan untuk roti yang dimakan Bani Israil dahulu, seperti diceritakan dalam kitab Taurat. Karena tergesa-gesa meninggalkan Mesir, umat Nabi Musa ini tidak mempunyai waktu untuk menunggu adonan roti masak sempurna.

 

Mengutip laman Temple Institute, Taurat juga menceritakan ritual pengurbanan yang dilakukan Bani Israil pada malam ketika mereka keluar dari Mesir. Kaum ini menyembelih seekor anak domba. Kemudian, daging hewan kurban itu dimakan bersama-sama.

 

Awal bulan Nisan biasanya terjadi antara bulan Maret dan April menurut kalender Masehi. Pada 2024 ini, 1 Nisan jatuh pada tanggal 10 April atau bertepatan dengan hari raya Idul Fitri 1445 Hijriyah.

 

Semestinya, kesamaan waktu terjadinya momen-momen istimewa yang dirayakan dua umat agama yang berbeda bukanlah masalah. Sebagai contoh, beberapa tahun silam umat Islam merayakan Idul Fitri 1421 H pada 27 Desember 2000, hanya berbeda dua hari dengan perayaan Natal umat Kristen.

 

Namun, kaum Yahudi ultra-ortodoks (Heredi) di Israel pada tahun ini hendak berulah. Mereka "merayakan" awal bulan Nisan secara berbeda. Dan, keinginan mereka ini, bila diwujudkan, jelas-jelas akan memprovokasi umat Islam di seluruh dunia.

 

Mereka ingin melakukan penyembelihan sapi merah (red heifer) pada permulaan bulan Nisan kini, yang jatuh tepat pada hari raya Idul Fitri 1445/10 April 2024. Temple Institute menyebut, ritual tersebut merupakan langkah awal bagi kaum Yahudi untuk mendirikan Haikal Sulaiman III di atas "tanah yang dijanjikan", yakni persis di titik Masjid al-Aqsha dan Qubbat ash-Shakhrah (Dome of the Rock) kini berdiri.

 

Dengan perkataan lain, mereka hendak merobohkan masjid suci itu untuk mendirikan sebuah bangunan baru, yakni kuil Yahudi. Bagi kelompok Heredi, adanya kuil yang disebut “Haikal Sulaiman” ini merupakan prasayarat mutlak untuk turunnya sang Juru Selamat (Mesiah), yang akan membimbing orang-orang Israel di akhir zaman.

 

Provokasi orang-orang Yahudi ultra-ortodoks inilah yang antara lain memicu ketegangan antara Israel-Palestina sejak Oktober 2023. Hal itu diakui oleh Brigade al-Qassam, sayap militer Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah (Hamas). Seperti disampaikan Juru Bicara Brigade al-Qassam, Abu Ubaida, dalam sebuah video yang dirilis pada 14 Januari 2023, tepat 100 hari sejak mulanya ketegangan ini.

 

Dalam pidatonya, Abu Ubaidah menyinggung soal mitos sapi merah dan penyembelihan hewan itu sebagai “ritual menjijikkan, yang dirancang untuk menyulut kemarahan seluruh umat Islam.” Karena itulah, Hamas menamakan serangan kejutnya terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 itu sebagai “Operasi Badai al-Aqsha.” Menegaskan bahwa tindakannya adalah untuk membela dan melindungi kesucian Masjid al-Aqsha dari ancaman-ancaman ekstremis yang hendak melenyapkan kompleks suci tersebut.

dok tangkapan layar YouTube

Mitos sapi merah

 

Temple Institute atau Machon HaMikdash merupakan sebuah lembaga yang menaungi para rabi Yahudi ultra-ortodoks. Institusi yang berdiri sejak 1987 di Israel (wilayah Palestina yang diduduki) ini dibentuk dengan satu tujuan, yakni mempersiapkan segala hal yang perlu demi terwujudnya Haikal Sulaiman III.

 

Dilansir dari laman resminya, Temple Institute sudah menyelesaikan pelbagai proyek untuk memperlancar rencana pembangunan kuil Yahudi itu. Misalnya, pada Juni 2008 pihaknya telah selesai membuat seragam khusus yang akan dipakai para pendeta Yahudi. Mereka inilah yang nantinya menyembelih sapi merah dan melakukan penyucian orang-orang Israel dengan air campuran abu bangkai hewan itu.

 

Bahkan, Temple Institute disebut-sebut juga telah menyiapkan berbagai perkakas yang nanti dipakai untuk menyusun satu per satu batu Haikal Sulaiman III. Menurut ajaran Yahudi, kuil ini tidak boleh dibangun dengan alat yang berbahan besi. Selain itu, institut ini membuat macam-macam perabot yang akan mengisi bangunan tempat pemujaan tersebut.

 

Temple Institute dan seluruh umat Yahudi ultra-ortodoks antusias dengan rencana penyembelihan sapi merah. Sebab, dengan itulah segala persiapan yang telah dilakukan tidak akan sia-sia dan impian membangun Haikal Sulaiman III dapat mulai diwujudkan.

 

Keyakinan kaum Yahudi heredi ihwal ritual sapi merah berdasarkan pada Kitab Bilangan, salah satu bagian dari Taurat atau Perjanjian Lama. Dalam surat ke-19, ayat ke-18 dan 19, terdapat teks yang dianggapnya sebagai perintah Tuhan kepada orang-orang Israel.

 

Ayat-ayat itu berbunyi, “Dan orang yang tahir harus mengambil hisop, mencelupkannya ke dalam air, dan memercikkannya ke atas tenda, dan ke semua perkakas, dan ke atas orang-orang yang ada di sana, dan ke atas orang yang menyentuh tulang, atau orang yang terbunuh, atau orang yang terbunuh. mati, atau kuburan.

 

Dan orang yang tahir harus memerciki orang yang najis pada hari ketiga dan hari ketujuh; dan pada hari ketujuh dia harus menyucikannya; dan dia harus mencuci pakaiannya, dan mandi dengan air, dan menjadi tahir.”

 

Sapi merah atau red heifer yang dimaksud, menurut keterangan Temple Institute, mesti sempurna. Dalam arti, lembu-lembu itu haruslah berwarna merah murni. “Tidak ada dua helai bulu pun yang warnanya berbeda (bukan merah), dan tidak ada cacat sedikit pun,” demikian Forward.com melansir dari laman Temple Institute.

 

Red heifer juga mesti betina; belum pernah melahirkan anak; tidak pernah dipakai untuk bekerja; tidak pernah dipakaikan pelana atau tusukan hidung; serta tidak pernah diambil air susunya.

 

Rencana penyembelihan sapi merah bukanlah sebuah keinginan yang baru. Kaum Yahudi Heredi sudah berusaha melakukannya setidaknya sejak ribuan tahun silam. Menurut tradisi lisan orang-orang ini, hanya lima sapi merah yang berhasil ditemukan dan kemudian disembelih sejak zaman Nabi Musa hingga hancurnya Haikal Sulaiman II pada era Romawi, sekitar dua ribu tahun lalu.

Ilustrasi sebagian kaum Bani Israil menyembah patung sapi | DOK WIKIPEDIA

Ritual ini mengharuskan bahwa sapi merah disembelih pada usia tertentu. Bila Temple Institute benar merencanakan penyembelihan tepat pada hari Idul Fitri 1445 H, berarti hewan ini mesti dikurbankan sebelum April 2025. Artinya, ada jangka waktu sekira satu tahun sejak 10 April 2024.

 

Temple Institute dan orang-orang Yahudi Heredi di Israel tampaknya sudah percaya diri akan hal ini. Sebab, mereka mengeklaim telah menemukan red heifer yang dimaksud. Binatang berkaki empat itu didatangkan dari Amerika Serikat (AS) ke Israel (wilayah Palestina yang dijajah) pada 2022 lalu.

 

Laman Temple Institute menjelaskan detail prosesi yang mesti dijalani mereka berkaitan dengan ritual sapi merah. Pertama-tama, tentu saja hewan itu harus terlebih dahulu ditemukan dan didatangkan. Selanjutnya, para rabi wajib terbebas dari segala najis agar mereka bisa menjalankan amalan penyembelihan ini.

 

Merujuk pada dua ayat dalam Kitab Bilangan itu, “najis” didefinisikan sebagai segala jasad manusia yang telah mati, termasuk tanah yang terkena olehnya. Para rabi yang bertugas menyembelih red heifer pun dilarang menyentuh tanah secara langsung. Sebab, tanah mungkin saja menjadi tempat dikuburkannya jenazah orang-orang dahulu. Tentunya, mereka juga terlarang pernah menyentuh mayat.

 

Para rabi Yahudi yang akan memotong sapi merah bukanlah orang sembarangan. Mereka, demikian klaim Temple Institute, harus merupakan keturunan Nabi Harun, saudara Nabi Musa. Pakaian yang akan mereka kenakan juga telah dirancang khusus oleh institut ini.

 

Karena tanah dianggap mengandung “najis”, penyembelihan sapi merah dilakukan di atas altar batu. Sebuah jembatan batu juga akan dibangun untuk menghubungkan lokasi penyelenggaraan ritual dan bukit tempat “tanah yang dijanjikan”, yakni kompleks Masjid al-Aqsha kini.

 

Yahudi Heredi percaya, pemotongan sapi merah mesti dilaksanakan di atas Bukit Zaitun, sambil orang-orang Israel menghadap ke arah “tanah yang dijanjikan.” Letak bukit ini berada persis di seberang Masjid al-Aqsha. Selain itu, air yang nantinya digunakan untuk memerciki mereka juga berasal dari mata air Siloam, salah satu oasis di Baitul Makdis.

 

Setelah sapi merah disembelih, seluruh bangkai hewan itu dibakar. Abunya kemudian dicampur dengan air dari oasis Siloam, di dekat Baitul Makdis. Proses ini diperkirakan berlangsung tujuh hari penuh hingga menghasilkan ribuan galon air yang telah bercampur abu bangkai sapi merah.

 

Air itulah yang akan dipakai untuk memandikan tiap orang Yahudi atau dipercikkan pada mereka. Temple Institute meyakini, abu bangkai sapi merah bila dicampurkan dengan air dari oasis Siloam bisa bertahan hingga 100 tahun. Karena itu, proses pemandian atau pemercikan ini bisa dilakukan dari generasi ke generasi.

 

Setelah “disucikan”, barulah orang-orang Israel diizinkan untuk membangun Haikal Sulaiman di atas “tanah yang dijanjikan.” Dengan kata lain, mereka benar-benar memulai penghancuran total Masjid al-Aqsha.

 

Dalam membangun kuil yang diidam-idamkan ini, orang-orang Yahudi dilarang oleh kitab mereka untuk menggunakan besi. Mereka harus memakai batu. Karena itu, Temple Institute sudah lama mempersiapkan pelbagai bagian dari kuil yang hendak mereka bangun. Seperti diri mereka, perkakas dan bagian-bagian bangunan kuil itu pun harus disucikan terlebih dahulu dengan air campuran abu bangkai sapi merah.

dok pxhere

Arogansi dan masa bodoh

 

Dilansir dari laman CBS News (5 Maret 2024), para tokoh Yahudi Heredi menyambut gembira datangnya lima ekor sapi betina berwarna merah dari sebuah peternakan di Texas, AS. Hal itu diamini Yitshak Mamo, seorang anggota Uvne Jerusalem, salah satu organisasi yang didirikan untuk menyongsong pembangunan Haikal Sulaiman III.

 

Kepada juru warta CBS News, Mamo memperlihatkan beberapa sapi merah itu yang kini berada di “tempat yang aman” di Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki Israel. “Silakan lihat dan cek sendiri, apakah ada sehelai bulu putih atau merah (pada sapi ini),” kata lelaki paruh baya itu.

 

Sebab, bila satu helai saja ditemukan yang berwarna bukan-merah, maka hewan itu gagal dijadikan persembahan dalam ritual red heifer ini. Menurut Mamo, para rabi Yahudi Heredi telah amat lama menantikan adanya sapi-sapi istimewa ini.

 

Sebelumnya, orang-orang Yahudi Israel sendiri yang berupaya membesarkan sapi dengan spesifikasi langka itu. Namun, belakangan diketahui bahwa peternakan milik orang Kristen di Texas telah berhasil memilikinya. Hewan itu adalah sejenis sapi red angus.

 

Pada September 2022, dimulailah proyek untuk mendatangkan kelima sapi itu dari Texas ke Tel Aviv. Ada beberapa kendala, sebut Mamo. Misalnya, regulasi AS saat itu yang masih melarang sementara (moratorium) praktik ekspor hewan ternak, termasuk sapi. Karena itu, sapi-sapi merah tersebut diklasifikasikan sebagai “hewan peliharaan” sehingga bisa lolos dari jeratan peraturan tersebut. Butuh dana tidak kurang dari 500 ribu dolar AS untuk memuluskan operasi ini.

 

Saat ditanya mengapa sampai repot-repot mencari dan mendatangkan hewan-hewan itu, Mamo menjawab singkat. “Bibel adalah jalan Tuhan yang membimbing kami,” katanya, merujuk pada Perjanjian Lama alias Taurat, kitab yang diyakini suci oleh umat Yahudi ultra-ortodoks.

 

Yang tidak disebutkan secara eksplisit oleh Mamo adalah bahwa lokasi kaumnya akan membangun Haikal Sulaiman III adalah tanah tempat Masjid al-Aqsha kini berdiri. Artinya, pembangunan kuil Yahudi tersebut akan berimbas—jika bukan menghancurkan sama sekali—tempat suci umat Islam itu.

 

CBS News menemui seorang pemandu wisata di Israel (wilayah Palestina yang diduduki zionis), Melissa Jane Kronfeld. Sehari-hari, wanita ini bekerja menjadi pemimpin grup para wisatawan yang hendak menyusuri Baitul Makdis/Yerusalem, tanah suci tiga agama: Islam, Yahudi, dan Kristen. Tentu saja, para pelancong yang dipandunya bukanlah Muslim, melainkan orang-orang Nasrani dan Yahudi, biasanya dari Amerika dan Eropa.

 

Kronfeld membenarkan bahwa bukit tempat Masjid al-Aqsha berada, yang disebutnya Bukit Kuil (Temple Mount), adalah suci. Namun, ia mengeklaim bahwa ada memori sejarah di sana, yakni berdirinya Haikal Sulaiman pertama pada sekira 957 tahun sebelum Masehi (SM).

 

Bangunan itu kemudian dihancurkan, seiring dengan jatuhnya orang-orang Israil ke tangan kekuasaan Babilonia. Sesudah itu, Sirus yang Agung dari Persia dapat menguasai Baitul Makdis dan mengizinkan mereka kembali ke “tanah yang dijanjikan.” Maka, dibangunlah kembali Haikal Sulaiman, untuk kedua kalinya.

 

Haikal Sulaiman II lantas hancur akibat invasi yang dilakukan orang-orang Romawi pada abad keenam. Sejak saat itu, lanjut Kronfeld, bangsa Yahudi hidup berdiaspora, tanpa tanah air dan semakin jauh dari Baitul Makdis.

 

Keadaan berubah drastis sejak munculnya zionisme yang digagas Theodor Herzl (1860–1904), seorang jurnalis berkewarganegaraan Austria-Hungaria. Dengan semangat “kembali ke Bukit Zion”, gerakan ini melakukan pelbagai cara, termasuk terorisme dan kekerasan, untuk mewujudkan sebuah “tanah air bagi bangsa Yahudi” di Palestina.

 

Pada 1948, Israel dideklarasikan. Hingga detik ini, entitas zionis tersebut terus mencaplok tanah Palestina dan memperluas wilayah kekuasaan de facto-nya.

 

Bagi Kronfeld, orang-orang Yahudi di seluruh dunia hendaknya fokus pada usaha mewujudkan Haikal Sulaiman III, bagaimanapun caranya. “Adalah penting bagi orang-orang Yahudi untuk kembali dan membangun kuil ini,” kata wanita yang asli berasal dari New York, Amerika Serikat, itu.

 

“Ini bukan tentang merampas apa pun dari ‘saudara-saudara kita’ orang Islam. Ini bukan tentang penghancuran bangunan suci umat Islam. Ini adalah tentang menjaga kawasan ini (Temple Mount) dan menjadi penjaga rumah Tuhan,” lanjut wanita ini, berkilah.

 

Secara gamblang, Kronfeld mengungkapkan keinginannya tentang “nasib” kompleks Masjid al-Aqsha bila memang Yahudi Heredi jadi melaksanakan rencana pembangunan Haikal Sulaiman III. “Saya percaya 100 persen itu (pembangunan kuil Yahudi) akan terjadi. Seluruhnya (kompleks Masjid al-Aqsha) akan diubah menjadi kuil,” katanya, tetapi juga menekankan bahwa Dome of the Rock “hanya” dipindah, tidak perlu dihancurkan.

 

Seperti Madinah dan Makkah, Baitul Makdis bagi kaum Muslimin sedunia adalah suci. Menghancurkan Masjid al-Aqsha tentunya akan memancing reaksi dari umat Islam, sebagaimana mereka mendengar bila mana ada rencana penghancuran Masjid Nabawi atau Masjidil Haram. Artinya, ketegangan yang dari seluruh proyek Haikal Sulaiman III ini akan meluas, bukan hanya di Gaza (basis Hamas) atau Palestina, melainkan juga dunia. Mungkin saja menyulut semacam “perang dunia.”

 

“Orang-orang bilang bahwa pendirian Kuil Ketiga (Haikal Sulaiman III) akan memicu perang, akan mengguncang Timur Tengah. Tapi toh Timur Tengah saat ini memang tampak tidak stabil. Dan perang, kalau saya tak salah, memang sedang terjadi,” ujar Kronfeld.

 

Wanita ini bisa berdalih bahwa impiannya tentang Haikal Sulaiman III adalah sebuah mimpi dari seorang warga, bukan semacam “proyek resmi” pemerintah Israel atau “impian” seluruh orang Yahudi di dunia. Bagaimanapun, dalih itu saja sudah cukup membuat sayap militer Hamas untuk bertindak antisipatif, yakni mengadakan serangan mendadak pada Oktober tahun lalu. Ketegangan antara Hamas dan pihak militer Israel (IDF) pun tak henti hingga detik ini.

 

Semestinya, orang-orang Yahudi Heredi dan para pendukungnya menghentikan rencana gila mereka untuk mewujudkan suatu apa pun yang didirikan DENGAN CARA MENGHANCURKAN sebuah situs suci umat Islam. Baitul Makdis yang terbuka dan ramah untuk umat agama-agama, itulah yang semestinya menjadi impian. Bukan justru mimpi menyembelih sapi langka dan memandikan orang-orang dengan bangkai hewan itu, untuk kemudian mereka merusak kesucian al-Quds.

Semestinya, orang-orang Yahudi Heredi dan para pendukungnya menghentikan rencana gila mereka.

Bani Israil dan sapi

 

Dalam ajaran Islam, memang tidak ada teks yang menunjukkan ritual sapi merah dan rencana menghancurkan masjid suci. Namun, dalam Alquran terdapat kisah sapi betina yang berkaitan dengan watak Bani Israil pada zaman Nabi Musa AS. Cerita itu termuat dalam al-Baqarah, surah kedua dan sekaligus surah terpanjang di dalam Kitabullah.

 

Kisah tentang sapi betina ini dapat dibaca dalam surah al-Baqarah ayat ke-67 hingga 73. Mulanya, sebagian Bani Israil digegerkan oleh kejadian tewasnya seorang dari mereka.

 

Si mendiang bukan orang sembarangan. Dia adalah hartawan yang kekayaannya berlimpah ruah. Namun, semasa hidupnya lelaki ini tak memiliki anak kandung yang berhak mewarisi harta tersebut. Alhasil, banyak kerabat yang menginginkan dan menanti-nanti warisan.

 

Yang pertama kali menemukan mayat si hartawan adalah seorang kerabat. Itu terjadi pada subuh hari yang sepi. Dari kondisi yang ada, jelas bahwa almarhum tewas dibunuh. Para warga pun bertanya-tanya, siapa gerangan yang membunuhnya?

 

Asumsi-asumsi pun bermunculan. Ada yang bilang, sang kerabat yang menemukanlah yang membunuhnya. Yang lain mengatakan, si pemilik rumah yang didepannya ditemukan jasad si hartawanlah pelakunya.

 

Di tengah keributan tersebut, datang seorang saleh yang cerdas. Ia pun menengahi warga.

 

“Mengapa kalian berkelahi? Bukankah di antara kita ada Musa, sang rasul Allah? Mari kita tanyakan perihal ini kepada beliau,” ujarnya. Orang-orang pun berbondong-bondong mendatangi Musa.

 

Mendengar kisah dari mereka, saudara Nabi Harun itu pun memanjatkan doa. Memohon wahyu dari Allah agar menunjukkan rahasia di balik kematian sang hartawan.

 

Allah kemudian memerintahkan Musa agar menyuruh umatnya menyembelih seekor sapi. Mendengar perintah ini, sebagian tokoh Bani Israil merasa tersinggung. “Hai Musa, apakah kau ingin menjadikan kami bahan ejekan?” ujar mereka.

 

Orang-orang itu tersinggung. Sebab, dahulu mereka sempat menyembah patung sapi betina, yang dibuat oleh Samiri. Dan, kini sang nabiyullah menyatakan bahwa Allah menyuruh mereka untuk menyembelih sapi.

 

Nabi Musa pun dengan sabar menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar diriku tak termasuk orang-orang yang bodoh. Aku berlindung kepada Allah untuk tidak mengatakan sesuatu yang bukan firman-Nya."

 

Namun, tetap saja orang-orang Bani Israil ini enggan menaati langsung perintah Musa AS. Mereka tampak bermalas-malasan dan ogah-ogahan. Pasalnya, sapi merupakan binatang yang masih saja dihormati oleh mereka.

 

Saat Musa menanyakan perihal sapi tersebut, mereka pun terlihat pura-pura bingung. Justru orang-orang ini mencari-cari dalih agar dapat menunda menyembelih sapi. “Wahai Musa, beri kami spesifikasi, berapa usia sapi itu?” ujar mereka.

 

Nabi Musa pun menjawab, “Tidak muda, tidak pula tua, melainkan pertengahan saja. Maka kerjakanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepada kalian. ”

 

Lagi-lagi, mereka tak juga menjalankan perintah itu. Setiap kali Musa menanyakannya, mereka masih saja menanyakan spesifikasi yang lebih mendetail lagi ihwal sapi yang akan disembelih.

DOK WIKIPEDIA

“Apa warna sapi itu?” tanya mereka.

 

Dengan sabar, Musa pun menjawab, “Warnanya kuning tua, setiap kali orang memandangnya maka akan senang melihatnya."

 

Bukannya mencari, keesokan hari justru mereka bertanya kembali. “Beri tahu kami bagaimana kondisi sapi itu sehingga kami dapat mencarinya,” kata mereka.

 

Kesabaran Musa begitu diuji, beliau pun menjawab dengan rincian yang banyak. “Sapi itu tak pernah digunakan untuk membajak sawah atau memberi air bagi tanaman. Sapi itu pun sangat bersih, tidak memiliki cacat.”

 

Semakin banyak bertanya, jelaslah bahwa mereka semakin sulit mendapatkan sapi yang dimaksud Allah SWT--sebagaimana disampaikan Nabi Musa. Sebab, semakin mendetail pula kriteria yang dikabarkan kepada mereka. Andaikan mereka menurut saja saat perintah pertama, mereka bebas memilih sapi manapun.

 

Namun, sifat membangkang justru membuat mereka semakin sulit. Setelah banyak pertanyaan, mereka justru harus mendapatkan sapi yang sempurna. Rupanya mereka menyadari kebodohan mereka itu.

 

Akhirnya, mereka pun mencukupkan pertanyaan dan mulai mencari jenis sapi yang elok itu. “Sekarang kamu menerangkan sapi itu dengan lengkap,” kata mereka.

 

Setelah kesulitan yang sangat mencari sapi tersebut, akhirnya mereka pun mendapatkannya. Hampir saja mereka menyerah karena nyaris tak ada sapi yang sesempurna itu. Sapi itu pun didapatkan dengan harga yang sangat mahal.

 

Hewan berkaki empat tersebut merupakan milik seorang yatim yang usianya masih belia. Sapi tersebut merupakan satu-satunya warisan bapaknya. Atas wasiat sang ayah, sapi itu tak diizinkan bekerja dan hanya dirawat sedemikian rupa.

 

Kulitnya juga berwarna kuning tua yang sangat elok. Seluruh kriteria yang Nabi Musa sebutkan ada pada sapi tersebut.

 

Sapi itu pun didatangkan ke hadapan Nabi Musa. Setelah disembelih, sang nabiyullah mengambil sebagian anggota tubuh sapi, kemudian memukulkannya pada jenazah tersebut.

 

Atas izin Allah, mayat si hartawan tiba-tiba hidup kembali. Nabi Musa pun bertanya kepada si mayat hidup. “Siapakah yang telah membunuhmu?”

 

Sang hartawan pun menunjuk salah seorang kerabatnya. “Dia!” ujarnya. Setelah itu, si hartawan langsung kembali menjadi mayat.

 

Ternyata, sang pembunuh merupakan kerabat yang selalu menginginkan warisan dari sang hartawan. Dia pula yang berpura-pura menemukan mayat korban yang dia bunuh dan meletakkan jasad ini di depan rumah tetangga almarhum.

 

Meski telah terang fakta, si kerabat tetap saja menyangkal bahwa dia adalah pembunuh sang mendiang. “Demi Allah, bukan aku yang membunuhnya,” ujarnya tanpa merasa gentar karena telah bersumpah palsu.

 

Dari kisah tersebut, terdapat banyak hikmah yang dapat dipetik. Di antaranya adalah bahwa seorang Mukmin mesti menaati perintah Allah sesegera mungkin. Jangan menunda-nunda, apalagi banyak mengajukan pertanyaan yang tak perlu.

top